Seutas Rasa Ikhlas
Tentang fotomu yang masih menghiasi lini masa, komentarku sudah
tertimbun oleh banyaknya kata-kata cantik didalamnya. Karena beberapa akun yang
aku kunjungi tak semenarik akunmu, aku kembali mengunjungi akunmu. Tak ada
apa-apa disana, namun didalam kotak pesan ada percakapan kita ketika masih
saling mengikuti. Bagaimana aku tidak tertarik pada pemilik akun kosong namun
memiliki senyum mempesona yang dijadikan rahasia. Aku pasrahkan jemariku
menempel pada keyboard untuk mengetik pesan yang tak lagi kau inginkan,
menjadikan itu sebuah tradisi pemanggilan bidadari. Pesanku terkirim kembali
tanpa ada cinta yang kembali menghampiri.
Aku kembali, kau tak peduli
Hatiku masih sama, mencintaimu seperti sedia kala. Menjadikanmu sebagai
hal yang terus menuai harap tanpa ada kepastian yang tumbuh setelahnya. Untukmu
aku rela menjadi dedaunan yang rapuh tertiup angin, jatuh disudut kota tanpa
ada yang memungutnya hingga akhirnya hilang ditelan masa. Tak mengapa, paling
tidak rumahmu pernah tertimpa oleh dedaunan itu. Dan bila nantinya halaman
rumahmu di penuhi dedaunan kau bisa menyapunya agar bersih sama seperti yang
kau lakukan padaku kala itu.
Pada malam saat berkumpul dengan sahabatmu kita pernah saling bertemu,
ingin menyapa namun malu-malu. Hingga akhirnya kau pamit untuk kembali
kerumahmu. Rinduku bermetamorfosa malam itu, menyatu dengan dinginnya angin dan
kelap kelip bintang agar kau pulang dengan memandang indahnya langit yang
menyajikan pemandangan atas rinduku yang tak kian padam. Rona merah di pipimu
adalah warna favoritku. Mempesona saat petang, berkilau saat terang. Mungkin
jika temanku tidak memintaku untuk menjemputnya aku tak akan pernah melihat
senyum paling sempurna yang tak bisa orang temukan di linimasa. Dan pada saat
itu aku semakin bertekad untuk memiliki segala apa yang menjadi kekuranganku.
Kau sempurna, Aku dibawah rata-rata
Kau harusnya mengaku saat itu. Selalu membicarakan tentangku bersama
teman kelasmu. Bila tertarik, akupun lebih tertarik. Sayangnya waktu perlahan
merubah perasaan. Ternyata aku hanya pemeran pengganti saat bosan. Aku masih
kalah dengan masalalumu yang masih menjadi pemeran utamanya. Tahun-tahun
berlalu aku semakin terbuat gila oleh ekspetasi yang aku buat saat kita terasa
dekat. Pesonamu semakin melekat, mengikat bahkan menjerat harap yang aku buat
saat sebelum terlelap. Namun takdir tak bisa di salahkan. Kita hanyalah dua
hati yang hanya saling berpapasan, tak diizinkan menyatu untuk berbagi
kebahagiaan. Kini biarkanlah semua ditelan waktu, terkubur dengan sendirinya
tentang kita yang tak bisa bersama.
Aku heran kenapa tuhan menciptakan hati untuk menimbulkan sebuah
perasaan. Telinga untuk mendengarkan suara. Namun kenapa jika hati berbicara
orang lain tak dapat mendengarnya. Beberapa hati seringkali merasakan sakit
yang tak bisa diungkapkan bagaimana rasanya, aku contohnya. Buktinya kau pergi
meninggalkan rasa yang hidup dengan dibumbui cinta, terkubur dan disemayamkan
bersama kisah yang berakhir tanpa ada kejelasan. Sayangnya aku masih berusaha
bangkit untuk kembali hidup dengan rasa kecewa yang tak kunjung redup.
Aku hampir tewas, Kau tak bergegas
Meski kini telah berbeda, kita tak saling berkomunikasi sebab pesan yang
aku kirim hanya berakhir centang satu padahal nomormu masih sama seperti yang
dulu. Aku masih menyimpannya sebagai kenangan. Bersama tulisan yang aku
publikasikan, diantaranya adalah tentang kita di masalalu. Hal yang masih
menjadi kebiasaan buruk adalah memandangi fotomu yang masih tersenyum merona di
album berjudul “Cinta”. Seringkali aku heran padamu; Begitu cantik, pintar dan
baik. Betapa beruntungnya jodohmu kelak. Bagiku, melihat senyum manismu saja
cukup. Tak perlu lagi ada hasrat ingin memiliki.
Sekarang aku tak lagi mengharap kau kembali menanyakanku, aku hanya suka
memikirkan hal itu. Pada penantian pesan masuk yang membuat sebuah senyuman,
yang kini masih menjadi menumen indah di benakku. Hadir dan hilangmu membuatku
sadar bahwa setiap perasaan tak perlu berlebihan, sebab ada kecewa yang menjadi
buntut dibelakangnya. Hingga kini aku menjadi lebih baik dengan menghilangkan
rasa berlebihan itu.
Aku pamit, meninggalkan rasa sakit
Hingar bingar kemacetan di perempatan dekat tempat tinggalmu adalah
pesan untukmu agar kau tetap sabar menjalani lika liku hidup di masa depan.
Biar do’aku yang mengalir seperti sungai di dekat SMK tempatmu belajar dulu
menjadi teman atas setiap perjalanan hidupmu. Do’a Agar kau tetap sehat,
bahagia dan menjaga senyum manismu agar tidak pudar saat mengalami banyak
masalah. Hadirmu mengesankan, pergimu memberi pelajaran. Terimakasih untukmu,
AYU.
Komentar
Posting Komentar