Peraduan
Tepat setelah matahari tenggelam, lampu menggantikan cahayanya. Tepat
pada waktu itu orang-orang beristirahat, menutup mata rapat-rapat, untuk hari
esok kembali menghadapi jalanan yang padat. Lihat, betapa bersinarnya senyummu
malam itu. Menggantikan lelah setelah seharian mencari nafkah. Senyummu
menjadikan yang hambar menjadi manis yang tak bisa ditakar. Aku berfikir betapa
beruntung kekasihmu, memilikimu yang begitu cantik, berhati baik. Aku juga
berfikir, pantaskah sosok hitam yang menjelma seperti langit malam mencintaimu
yang menawan? Menurutku tidak. Apa? Usaha? Untuk apa? Yang ada aku akan dicap
tak tau malu oleh kekasihmu.
Dibalik gelas yang kau teguk bersama kekasihmu, kesempatanku adalah
tetes kecil yang jatuh ke meja; Hampir tiada. Cinta yang bergejolak kenyataan
yang menolak. Di antara malam yang hampir merengkuh pagi, aku seringkali
merayakan kekecewaan. Menaruh dendam pada diri sendiri, tentang kenapa Aku yang
selalu mencintai sendiri. Hatiku tertebas oleh pedang yang terbuat dari waktu
yang mewarnai persahabatan. Tajam, hangat, penuh cinta kemudian menyayatku yang
sedang jatuh cinta. Akulah algojonya, menyayat hati sendiri, menebas dengan
keras, mengikis dengan tidak waras. Darahku mengalir deras.
Akulah sosok yang mencintaimu sebelum kekasihmu. Namun aku sadar kita
terikat dalam tali persahabatan. Akulah sosok yang mencintaimu diam-diam,
mendambamu lewat do’a serta merindukanmu tanpa mengada-ada. Pada siapapun hatimu
bermuara, aku selalu berdo’a agar kau terus menerus bahagia. Aku benci dengan
sosok yang datang kemudian menyakitimu, bagaimana tidak? Aku selalu berharap
yang aku cinta berbahagia tanpa ada tangis didalamnya. Do’aku masih saja
menyebut namamu.
Biar cintaku terbang kelangit diantarkan do’a. Terus berteriak agar kau
berbahagia. Kini, aku memilih mencintaimu di setiap bulir do’a yang dibilas air
mata. Rinduku akan meggebu sejadi-jadinya, membutakan harap akan hasrat untuk
memilikimu. Cukupkan, hatiku ditikam kenyataan. Kini biar hari berganti pagi.
Mataku terpejam hingga matahari muncul kembali. Do’a yang aku panjatkan biarlah
terbang tanpa ada harapan. Entah sampai kapan aku mencintaimu. Barangkali
hatimu sedang butuh sandaran, tengoklah langit malam. Disitulah namamu terukir,
menyerupa bintang dan menyala terang.
Kau tak perlu merasa tak enak bila tak mencintaiku. Biarlah semuanya
berjalan seperti sedia kala. Cintaku akan tumbuh menjadi rindang, gugur tanpa disiram
mati tanpa tertikam. Kau akan selalu menjadi topik menarik yang aku bicarakan
dengan tuhan, berbisik sedikit agar hatimu berputar balik untuk cintaku yang
kian dibumbui rasa sakit. Tapi aku tak berharap banyak seperti itu, melihatmu
bahagia bersamanya juga sudah cukup. Jika ada dedaunan yang gugur dihadapanmu,
ambillah. Bisa jadi itu adalah jelmaan perasaan yang kian jatuh
diangguk-anggukan kenyataan.
Nantinya, sebelum janur kuning melengkung aku ingin berusaha menikung di
kehidupan nyata. Menikungmu di sepertiga malam sudah sering aku lakukan hingga
akhirnya terbiasa melesat paling kencang diantara cinta yang menjerat.
Sudahlah, aku ngantuk. Karena kebetulan aku menulisnya di pergantian hari di ujung
malam. Tetaplah menjadi baik, cantik, ramah dan dengan senyum yang merekah. Aku
akan terus mencintaimu berlandaskan do’a pasrah. Berbahagialah..
Di ujung malam, disertai do’a
peraduan.
Selamat beristirahat, Sinergi yang
paling aku cintai.
Baguss
BalasHapusTerimakasih 🥰
Hapus