Sepi yang Mengabadi

Kicau burung menghiasi gendang telinga kala matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya. Cahayanya menelusup masuk ke dalam kamar melalui celah lubang kesedihan di atas pintu. Sayang sekali ia tak membawa bayanganmu. Jika ada bayangmu, aku akan memeluknya dan tak akan melepasnya. Biar bayangmu menjadi pandangan indah setelah aku membuka mata.

Hari dimulai tanpa ada semangat, ruang chating yang terbengkalai, panggilan masuk yang kini hanya menjadi buih buih kenangan. Raga basah dibasuh air mata. Sebuah kenyataan menyadarkan bahwa yang selama ini ada dalam dekapanku hanyalah semu.

Jalanan ramai orang-orang berolahraga; lari pagi, pemanasan atau sekedar jalan-jalan. Aku ingin berlari untuk mengejar segala mimpi. Namun, mimpi apa? Terbangun saja langsung digarap cemas dengan tampang memelas.

Lalu aku memilih untuk kembali, mengambil laptopku kemudian mengalunkan jemari. Sembari meraba fotomu yang tergantung di dinding kamarku, aku memacu segala pikiranku agar terus bisa menuangkan lewat jemariku.

Tak peduli apa gurauan orang-orang, sebab aku sudah terlalu teguh memegang cintaku. Perempuan yang kini berpindah ke lain pelukan masih menjadi satu-satunya sosok yang aku impikan. Bukankah janur kuning belum berdiri di tepi jalan? Bukankah cincin belum melingkar? Selagi ada jalan yang belum tertutup aku akan terus mencoba masuk. Namun, jika semuanya buntu paling tidak aku masih bisa menceritakan getirnya berjuang sendirian.

Kau bodoh, bucin.

Beberapa cacian aku nikmati perlahan. Sembari menyesapi kopi dan melihat apa yang terjadi pada orang-orang yang mencaci. Pada akhirnya mereka sama, cinta mampu membutakan segalanya.

Diiringin kepedihan, langkahku masih terus berjalan perlahan bersama sisa kalimat semangat yang kini sudah tak terlihat. Mencari apa yang harusnya aku cari serta menyelamatkan raga dari tangis tiap hari. Namun apa daya, di tiap waktu luangku hanya ada kamu di batinku. Kemudian aku kembali meraba senyumanmu, membelai mesra fotomu dan membawanya tidur disamping ragaku.

Lupakan, banyak sosok lain.

Banyak sekali yang mendorongku untuk melepas cinta ini, sudah beberapa kali aku mencoba namun tetap saja pada ragamu aku tak berkutik untuk melepas segalanya. Satu yang belum bisa aku hancurkan; Kamu arahku berpulang, kamu yang tak mampu buatku berpaling. Semakin lama omongan serta dorongan hanya kata yang terlintas serta bising, sebab dihatiku kamu tak pernah menjadi asing.

Ribuan daya upaya tetap tak mampu membuatku menoleh pada siapapun. Menyambangi hati lain bukan jalan yang benar, sebab sebelum benar-benar melupakan aku hanya merasa kesepian dan hali lain hanya untuk persinggahan. Aku tak ingin menjadi kejam setelah menikmati kekejaman. Aku hanya ingin baik walau hatiku tak pernah bisa membaik.

Hari menjelang siang, aku masih merasakan sepinya malam. Hanya ada suara jarum jam, tiupan angin malam serta mimpi yang masih saja menyambangi. Ramaipun masih terasa sepi, sebab hanya tawa candamu yang mampu mebuat hariku berseri. Bukan matahari, bukan juga komedi.

Terserah.

Kini setiap bercerita pada orang-orang hanya ada satu jawaban, iya terserah. Mungkin mereka lelah mendorongku untuk maju, mungkin mereka lelah melihatku berdamai dengan anganku atau mungkin mereka sudah tak perduli dengan hatiku.

Aku minta maaf pada semua yang dengan baik mendorongku untuk terus meluapakanmu. Aku pun meminta maaf pada diriku sendiri karena tak sanggup lagi mencari. Dan aku juga meminta maaf padamu bahwa hingga detik ini kamu masih menjadi orang yang aku cintai. Maaf dengan lancang mendoakan di tiap malam, maaf dengan lancang menjadikanmu sebuah mimpi dan maaf, jika hatiku kini tak berdamai dengan ragaku sendiri.

Biar waktu yang memberikan jalan. Siang pun akan menjumpai sore, sedih pun akan merasakan bahagia, begitupun sebaliknya, begitupun seterusnya.



Komentar

Postingan Populer