Getir

Jari pun mulai menapak pada huruf yang semestinya ia sentuh satu persatu. Menjadikan sebuah kalimat yang sejatinya mewakili setiap rasa. 

Sore hadir mempersembahkan matahari sebagai cahaya yang akan pamit sebelum ditelan bulan. Disini, di Taman ini aku melihat beberapa orang dengan kesibukan masing-masing; Bersulang kopi, berbagi tawa, berolahraga hingga mendorong ayunan agar si balita tertawa. Sedang aku menyendiri, merangkai kata dengan hembusan angin yang terus membisikkan bahwa kau sedang bahagia dengan pasanganmu. Barangkali didalamnya ada karbondioksida dari nafas tawamu yang sampai ke rongga hidungku.

Dipanggilnya aku "Om" oleh anak kecil yang ingin menitipkan mainannya dan ia beranjak lari bersama kawan-kawannya. Aku berfikir bahwa masa kanak-kanak tak perlu selalu menaruh curiga pada siapapun, tidak sepertiku yang selalu was-was akan kehilangan senyawa paling berharga, iya Kamu.

Dedaunan jatuh tepat disampingku. Mungkin ia sudah lapuk dan saatnya untuk mengucapkan kata perpisahan. Atau mungkin ia jatuh sebab ranting tak lagi memeluknya. Aku pun akan terjatuh bila tanganmu tak melingkar lagi di tubuhku.

Aku memesan kopi dengan jargon "Hidup banyak rasa" namun setelah aku nikmati sama saja, PAHIT. Atau mungkin kondisi hatiku saja yang sedang merasakan kepedihan. Tak terima akan kenyataan namun aku tetap mencoba menelan perlahan.
Lalu anak itu kembali mengambil mainannya, meminta maaf sekaligus berterimakasih. Lucu, baik dan sopan. Sama seperti anak yang kita berdua impikan saat itu. Iyaa, kau selalu terkesima pada anak yang masih dalam usia balita. Ingin mewujudkan, namun kita belum melaju ke jenjang pernikahan.

Matahari sedikit demi sedikit mulai melambai namun getirku belum juga usai. Menyaksikan kondisi taman yang semakin ramai dengan hatiku yang masih sesak untuk meraih kebahagiaan. Isi kepalaku masih saja tentangmu, terus melontarkan tanya tentang apa yang sedang kau lakukan bersamanya. Cemas yang menggiring getirku semakin dalam, rindu yang membuat tanya semakin bermuara.

Semakin sore, semakin enggan aku beranjak pulang. Aku tambah hidangan untuk menemani kopi yang ku pesan. Dua bungkus kacang yang rasanya asin, mewakili hadirmu yang masih aku tunggu. Kulitnya menyerupa semua rencana-rencana indahku; Berserakan, hancur dan belum tertata rapih. Namun belum aku buang sebab yakin aku dan kamu bisa sama-sama untuk mewujudkan impian. 

Bosan hanya berkutik di satu tempat, sedangkan kondisi semakin ramai orang-orang berbagi kemesraan. Aku merapihkan tas dan segala apa yang ada di hadapanku. Kembali memacu kendaraan, hingga ragaku tiba di alun-alun kota.

Sayang sekali, sore itu begitu ramai hingga aku tak mendapat tempat untuk menaruh raga ini dan kembali memikirkan rencana-rencana indah bersamamu.

Dalam perjalanan pulang mataku tertuju pada satu rumah yang pernah kau tunjuk sebagai tempat tinggal yang ingin kau tinggali bersamaku nanti. Kamar tidur dilengkapi kamar mandi, TV dan semacamnya. Kau bilang itu tempat kita beradu segala cinta dan rindu selepas penat berkerja.

Sekarang, langit mengucapkan selamat datang kepada bulan dan bintang. Saatnya aku bergegas kerumah untuk menjalankan kewajiban dan berdo'a agar nyata segala impian. Semoga kau pulang dengan selamat, dan kembali merangkul komitmen dalam cinta yang hangat.

Ya.. beginilah aku, menggenggam segala janji dan harap namun hatimu masih berkutat pada orang lain. Yang aku lakukan hanyalah menunggu, sadar akan posisiku. Entah aku salah atau benar semua mungkin kehendak tuhan. Kau bahagia bersamanya, namun tuhan menunjukku untuk mewujudkan segala impianmu.
Getir hadir, kenyataan yang menyulap bahagia menjadi luka seketika..Pahitnya Hidup Ini dan Hikmah yang Bisa Dipetik - Kompasiana.com

Komentar

Postingan Populer