Surat Merelakan
Hari ini, tepatnya satu tahun lalu. Aku menulis kisah cintaku yang
berakhir tragis, miris, hatiku teriris dan jiwaku menangis.
Hari ini, aku
mengaku bahwa aku salah dan kalah karena melawan harapku sendiri. Aku salah
akan ekspetasiku untuk melupakanmu dengan mudah. Aku kalah karena tak bisa
melupakanmu dengan mudah.
Hari ini, aku mencoba untuk sadar bahwa hatimu
setajam duri Mawar. Aku takkan kuat menggenggamnya, semakin kuat genggaman
semakin banyak darah di tangan.
Hari ini, tepat di hari ulang tahunmu. Aku
mengucap do’a agar kau terus baik-baik saja dan juga bahagia.
Surat ini tidak akan aku cetak seperti tahun lalu. Sia-sia jika nantinya
ku cetak dan kau hanya MEMBUANGNYA begitu saja. Biarlah saja ini bertengger di
Blog Pribadiku sebagai salah satu bukti bahwa aku pernah begitu mencintaimu.
Aku tau kamu sudah membaca tulisan pertamaku dan aku ingat, setelah membacanya
kamu juga mencintaiku “ 3 Jam saja” katamu. Hatiku bergejolak layaknya mentari
pagi, untukmu aku mengucapkan terimakasih. Hari-hari berikutnya aku sudah
menebak apa yang aku akan dapatkan setelah harapku kembali berkembang. Yaa,
kamu menghilang begitu saja tanpa tanda tanda dan aku sudah terbiasa.
Terimakasih atas segala rasa; Anggur, Strawbery, Nanas, Pare bahkan
Cabai. Silahkan kamu terjemahkan satu persatu. Aku ingin memberi tau kamu bahwa
aku terlalu lelah untuk kembali memperjuangkan seseorang, hingga akhirnya tiada
lagi dihatiku selain kamu entah sampai kapan. Hatiku mati ditikam rinduku
sendiri. Aku mengingatmu sebagai pelangi setelah hujan, indah saat datang namun
begitu cepat menghilang.
Nantinya aku akan mengingatmu sebagai kisah cinta yang berakhir tanpa
sebuah awalan. Kisah cinta yang akan menjadi prasasti untukku di kemudian hari,
menjadi tempat rekreasi kenangan dikala hujan.
Tentangmu rintik hujan; membuat
genangan, meluapkan kenangan.
Kopi yang menemaniku menulis ini masih utuh, harapku untuk mendapatkanmu
yang sudah habis. Tenanglah, kau bahagia saja. Terluka itu bagianku. Aku ingin
berterus terang bahwa melupakanmu aku belum bisa, hatiku sudah robek
berkali-kali namun hayalku selalu menjahitnya. Bila nantinya hatimu diselimuti
kerinduan, aku masih menantimu dengan do’a yang aku lantunkan.
Beberapa hari sebelum aku menulis ini kita saling bertemu bukan? Saling
sapa? tidak. Mengapa? Kamu menganggapku apa? Sudahlah, itu tak mengapa. Aku datang
dan kamu tidak peduli, toh hatiku sudah terbiasa remuk berkali-kali. Yang aku
ingat dari pertemuan itu adalah senyum manismu.
“Senyummu, pipi merahmu; sebab akibat
pikiranku tersesat, hatiku sekarat”
Aku sadar aku hanya seseorang yang membuat senyummu lebar tapi tidak
membuat hatimu berdebar. Aku adalah seseorang yang membawa cerita dan tawa di
hidupmu namun tidak dengan hatimu. Kamu datang saat kesepian kemudian
menghilang saat bosanmu menghilang. Kamu tak pernah sadar siapa yang
mencintaimu dengan sabar. Aku yang salah karena kamu hanyalah serpihan dari
do’a do’a pasrah. Aku sadar, aku salah. Dengan ini, aku menyatakan bahwa aku
menyerah.
Terimakasih telah menjadi rentetan cerita di hidupku. Berbiasalah,
berbahagialah.
“Kesalahanku, tak pernah merasa bahwa
untukku kau tak pernah punya cinta"
W.n
W.n
Bagus
BalasHapusTerimakasih, sangat bermanfaat
Hapus